-->

Apa yang anda cari ?

konten dari Hukum, Kuliah, Berita, Tips, Blogger, Musik, 48 Family dan lainnya
Ternyata, Sukses diawali dengan Huruf "S"

Contoh Penerapan Konvensi Ketatanegaraan di Indonesia



Pidato Presiden 16 Agustus

 Di Indonesia banyak ditemukan Konvensi ketatanegaraan yang dipraktikan sejak dulu sampai sekarang. Contohnya adanya kebiasaan penyelenggaraan pidato kenegaraan Presiden pada rapat paripurna DPR-RI tanggal 16 Agustus setiap tahun, baik yang berlaku sejak wal masa pemerintahan Presiden Soeharto maupun yang berlaku sampai sekarang. Di masa pemerintahan Presiden Soekarno, pidato kenegaraan semacam ini dilaksanakan langsung di hadapan rakyat di depan Istana Merdeka pada setiap 17 agustus, sekaligus dalam rangka perayaan HUT Kemerdekaan . Pidato Presiden Soekarno di depan istana tersebut biasanya disebut sebagai amanat  17 Agustus. Beberapa sarjana dan juga Presiden Soekarno sendiri menyatakan bahwa pidatonya itu merupakan bentuk pertanggungjawabannya sebagai Pemimpin Besar Revolusi, bukan sebagai Presiden
            Namun, setelah masa orde baru, pidato kenegaraan tersebut diubah menjadi pidato kenegaraan didepan rapat paripurna DPR-RI, dan fungsinya dikaitkan dengan penyampaian nota keuangan dalam rangka rancangan APBN oleh Presiden kepada DPR-RI. Dengan demikian, fungsi Pidato Presiden tersebut berubah menjadi pidato yang bersifat lebih teknis, dan bukan lagi sebagai pidato yang bersifat simbolik dan sekaligus kerakyatan sehingga tepat disebut sebagai pidato kenegaraan yang diadakan khusus satu kali dalam setahun dalam rangka perayaan hari kemerdekaan.
            Hal ini diteruskan sampai sekarangan sehingga timbul persoalan mengenai keterlibatan Dewan Perwakilan Daerah setelah terbentuk sebagai lembaga tersendiri di samping Dewan Perwakilan Rakyat, namun untuk mengatasi hal itu, diadakan pengaturan sehingga Presiden juga dijadwalkan menyampaikan pidato kenegaraan yang tersendiri di hadapan Dewan Perwakilan Daerah, yaitu pada setiap akhir bulan Agustus. Pidato di depan DPD tersebut juga dimanfaatkan untuk menyampaikan keterangan pemerintah mengenai APBN, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan daerah-daerah di Indonesia.[1]
            Contoh lainnnya yaitu ketika awal kemerdekaan, dapat dikemukakan bahwa menurut pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945, Menteri Negara bertanggung jawab kepada Presiden karena ia adalah pembantu Presiden. Dalam Perkembangan ketatanegaraan Indonesia di tahun 1945, ternyata ketentuan yang menyatakan bahwa Menteri Negara harus bertanggung jawab kepada Presiden karena konvensi ketatanegaraan, diubah menjadi bertanggung jawab kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP). Pada masa itu, BP-KNIP ini berfungsi sebagai semacam Dewan Perwakilan Rakyat yang menjalankan tugas-tugas yang bersifat legislatif.                                                                                                       Hal ini terjadi karena keluarnya Maklumat Wakil Presiden No.  X tanggal 16 Oktober 1945, yang kemudian diikuti dengan maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, di mana Komita Nasional Indonesia Pusat yang semula membantu Presiden dalam menjalankan wewenangnya berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV Undang-Undang Dasar 1945, menjadi badan yang sederajat dengan Presiden, dan sebagai tempat Menteri Negara bertanggung jawab, Dengan Demikian, system pemerintahan yang semula menganut system presidensil berubah menjadi system pemerintahan parlementer. Hal ini dapat dilihat dalam cabinet Syahrir I, II, III, serta cabinet Amir Sjarifudin yang menggantikannya.

            Konvensi ketetenegaraan pernah menjadi pertimbangan MK dalam putusan perkara Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tanggal 18 Pebruari 2009, dalam uji materi Pasal 3 Ayat (5) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. MK dalam pertimbangan hukumnya berpendapat sebagai berikut: “Bahwa terhadap Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut merupakan cara atau persoalan prosedural yang dalam pelaksanaannya acapkali menitikberatkan pada tata urut yang tidak logis atas dasar pengalaman yang lazim dilakukan. Apa yang disebut dengan hukum tidak selalu sama dan sebangun dengan pengertian menurut logika hukum apalagi logika umum. Oleh sebab itu, pengalaman dan kebiasaan juga bisa menjadi hukum. Misalnya, Pasal 3 ayat (5) berbunyi, “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan Pemilu DPR, DPRD dan DPD”. Pengalaman yang telah berjalan ialah Pemilu Presiden dilaksanakan setelah Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, karena Presiden dan/atau Wakil Presiden dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat [Pasal 3 ayat (2) UUD 1945], sehingga Pemilu DPR dan DPD didahulukan untuk dapat dibentuk MPR. Lembaga inilah yang kemudian melantik Presiden dan Wakil Presiden, oleh karenanya harus dibentuk lebih dahulu. Sesungguhnya telah terjadi apa yang disebut desuetudo atau kebiasaan (konvensi ketatanegaraan) telah menggantikan ketentuan hukum, yaitu suatu hal yang seringkali terjadi baik praktik di Indonesia maupun di negara lain


7 Artikel Untuk Anda

Edit Post

Powered by Blogger - Template CaraSehat.Me