Analisis Kasus Hukum Internasional "North Sea
Continental Shelf Cases(Federal Republic of German/Denmark)"
Kasus
ini diawali dengan dibentuknya ketentuan dalam perjanjian internasional antara
Denmark dan Belanda yang mengatur mengenai perbatasan di landas kontinen. Hal
ini dianggap kedua negara tersebut dapat dilakukan, karena sesuai dengan hukum
kebiasaan internasional, maka negara bebas menentukan batas masing-masing asalkan
memerhatikan seluruh keadaan secara berkesinambungan dan sesuai equitable principle. Dan hukum kebiasaan
internasional ini adalah salah satu sumber hukum yang diakui dalam hukum
internasional. Namun seperti yang dijelaskan dalam putusan Mahkamah, hal
tersebut dapat menimbulkan overlapping
area sehingga memerlukan pemikiran lebih lanjut mengenai hal tersebut.
Menurut Michael Akehurst, Kebiasaan Internasional
menimbulkan opinio juris menjadi
suatu dilema.
Kritikan ini tidak terlepas dari pemahaman opinion juris yang dianggap abstrak.
Walaupun dapat dikatakan problematik, PCIJ dalam kasus Lotus menekankan apabila
opinion juris merupakan elemen
esensial dalam menyatakan sebuah kebiasaan telah menjadi bagian dari norma
hukum kebiasaan. Kemudian dinyatakan kembali dalam kasus North Sea Continental Shelf ini, yang kemudian kedua elemen dalam
doktrin tadi resmi menjadi bagian yang tak terpisahkan. Namun, keadaan tersebut
tidak membuktikan akan adanya kemudahan untuk melihat terdapatnya sebuah
kewajiban hukum dalam sebuah perilaku.[1]
Dalam kasus North
Sea Continental Shelf ini, mayoritas
hakim menyatakan frekuensi dari sebuah tindakan tidaklah cukup untuk menyatakan
tindakan tersebut sebagai sebuah kebiasaan. Sedangkan, dalam dissenting opinon, berpemahaman bahwa opinion juris dapat ditemukan dalam hal
terdapatnya praktek yang konsisten kecuali terdapat hal yang sebaliknya.
Atau dengan kata lain, dalam hal ketiadaan pernyataan
secara jelas yang menyatakan apabila tindakan tersebut tidak dibebani oleh
kewajiban hukum maka tindakan tersebut dianggap memuat opinion juris.[2] Apabila suatu prinsip yang ditentukan dalam suatu
konvensi ingin diberlakukan sebagai suatu kebiasaan internasional, maka prinsip
tersebut harus dapat diterapkan secara umum sehingga dapat menjadi pedoman
dalam penyelesaian suatu permasalahan hukum yang berhubungan langsung dengan
prinsip tersebut.
1. Prinsip Equidistance
Mengenai prinsip equidistance yang dibahas dalam kasus ini, dapat
diperhatikan pasal 6 Konvensi Jenewa. Pasal 6 Konvensi Jenewa tentang Landas
Kontinen berisi:
Article 6
1)
Where the same continental shelf is adjacent to the
territories of two or more States whose coasts are opposite each other, the
boundary of the continental shelf appertaining to such States shall be
determined by agreement between them. In the absence of agreement, and unless
another boundary line is justified by special circumstances, the boundary is
the median line, every point of which is equidistant from the nearest points of
the baselines from which the breadth of the territorial sea of each State is
measured.
2)
Where the same continental
shelf is adjacent to the territories of two adjacent States, the boundary of
the continental shelf shall be determined by agreement between them. In the
absence of agreement, and unless another boundary line is justified by special
circumstances, the boundary shall be determined by application of the principle
of equidistance from the nearest points of the baselines from which the breadth
of the territorial sea of each State is measured.
3)
In delimiting the boundaries of the continental shelf,
any lines which are drawn in accordance with the principles set out in
paragraphs 1 and 2 of this article should be defined with reference to charts
and geographical features as they exist at a particular date, and reference
should be made to fixed permanent identifiable points on the land.
Prinsip equidistance
yang disebutkan dalam Pasal 6 Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen 1958,
tidak dapat diterapkan sebagai suatu hukum kebiasaan internasional dikarenakan
isi dari pasal tersebut berkaitan langsung dengan pengaturan landas kontinen secara khusus. Hal
ini dikarenakan prinsip tersebut hanya dapat diterapkan tergantung pada kondisi
yang ada yang dapat memberlakukan ketentuan tersebut sehingga prinsip ini tidak
dapat diterapkan secara umum.
Selain itu, prinsip equidistance
ini tidak dapat diterapkan dalam semua permasalahan landas kontinen. Wilayah di
dasar laut tidak dapat dianggap sebagai bagian dari negara pantai dikarenakan
wilayah tersebut berada di dekat negara tersebut. Wilayah di dasar laut
tersebut hanya kemungkinan merupakan bagian dari wilayah negara pantai secara
geografis. Apabila prinsip ini diterapkan begitu saja, dapat mengakibatkan
adanya permasalahan dalam pembagian wilayah landas kontinen ini dengan negara
lain, dimana wilayah yang seharusnya milik suatu negara dapat menjadi bagian
dari negara lain.
[1] Martin Dixon, Textbook on International Law, London,
Blackstone Press, 1996, hlm. 31.
[2] Ibid.
Kunjungi Juga :
Kunjungi Juga :
Download Piagam PBB ( Perserikatan Bangsa - bangsa ) pdf
Download Konvensi Hukum Laut 1982 pdf
Contoh Surat Kuasa
Analisis Kasus Penyerbuan Kedubas AS di Iran 1979 ( TEHERAN CASE 1979 )
Pengelolaan Sumber Daya Alam Joint Development
Analisis Sosiologi Terhadap Kejahatan
Analisis Kasus HI North Sea Continental Shelf
Analisis Kasus HI Nicaragua V. United States Of America
Polemik Penamaan KRI Usman Harun
Analisis Kasus Attorney-General of the Government of Israel v. Eichmann
Analisis Kasus Arrest Warrant Belgia vs Congo
Consent to be Bound dalam Hukum Internasional
Perbedaan Konvensi Ketatanegaraan dengan Kebiasaan Ketatanegaraan
Pengertian Konvensi Ketatanegaraan
Prinsip Dasar Perlindungan Hukum dalam Cyberspace
Studi Kasus Hukum Internasional Hisene Habre ( Belgia vs Senegal )
Konspirasi HAM di Papua
Permasalahan Sosial (Sumber Daya Manusia) Daerah Perbatasan Indonesia
Permasalahan Keamanan Daerah Perbatasan Indonesia