-->

Apa yang anda cari ?

konten dari Hukum, Kuliah, Berita, Tips, Blogger, Musik, 48 Family dan lainnya
Ternyata, Sukses diawali dengan Huruf "S"

Analisis Sosiologi Terhadap Kejahatan




            Berdasarkan sosiologi, kejahatan disebabkan karena kondisi-kondisi dan proses-proses social yang sama, yang menghasilkan perilaku perilaku social lainnya[1]. Analisis terhadap kondisi dan proses-proses tersebut menghasilkan dua kesimpulan, yaitu pertama, tedapat hubungan antara variasi angka kejahatan dengan variasi organisasi-organisasi social dimana kejahatan tersebut terjadi. Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat dengan bentuk-bentuk dan organisasi-organisasi social dimana kejahatan tersebut terjadi. Maka, angka-angka kejahatan dalam masyarakat, golongan-golongan masyarakat dan kelompok-kelompok social mempunyai hubungan dengan kondisi-kondisi dan proses-proses misalnya, gerak social, persaingan serta pertentangan kebudayaan, ideology politik, agama, ekonomi, dan seterusnya.

            Kedua, para sosiolog berusaha untuk menentukan proses-proses yang menyebabkan seseorang menjadi penjahat. Analisis ini bersifat social psikologis. Beberapa ahli menekankan pada beberapa bentuk proses seperti imitasi, pelaksanaan peranan social, asosiasi difrensial, kompensasi, identifikasi, konsepsi diri pribadi, dan kekecewaan yang agresif sebagai proses-proses yang menyebabkan seseorang menjadi penjahat. Sehubungan dengan pendekatan sosiologis tersebut diatas, dapat diketemukan teori-teori sosiologis tentang perilaku jahat.

            Salah satu diantara sekian teori tersebut adalah teori dari E.H. Sutherland[2]  yang mengatakan bahwa seseorang berperilaku jahat dengan cara yang sama dengan perilaku yang tidak jahat. Artinya, perilaku jahat dipelajari dalam interaksi dengan orang-orang lain dan orang tersebut mendapatkan perilaku jahat sebagai hasil interaksi yang dilakukannya dengan orang-orang yang berperilaku dengan kecenderungan melawan norma-norma hukum yang ada. Sutherland menyebutnya sebagai proses asosiasi diferensial karena yang dipelajari dalam proses tersebut sebagai akibat interaksi dengan pola-pola perilaku jahat, berbeda dengan yang dipelajari dalam proses interaksi dengan pola-pola perilaku yang tidak suka pada kejahatan. Apabila seseorang menjadi jahatm hal itu disebabkan orang tadi mengadakan kontak dengan pola-pola perilaku jahat dan juga karena dia mengasingkan diri terhadap pola-pola perilaku yang tidak menyukai kejahatan tersebut.

            Selanjutnya dikatakan bahwa bagian  pokok dari pola-pola perilaku jahat tadi dipelajari dalam kelompok-kelompok kecil yang bersifat intim. Alat-alat komunikasi tertentu seperti buku, surat kabar, filkm, televise, radio memberikan pengaruh-pengaruh tertentu, yaitu dalam memberikan sugesti kepada orang perorangan untuk menerima atau menolak pola-pola perilaku jahat.

            Untuk mengatasi masalah kejahatan tadi, kecuali tindakan preventif, dapat pula diadakan tindakan-tindakan represif antara lain dengan teknik rehabilitasi. Menurut Cressey[3]. Ada dua konsepsi mengenai teknik rehabilitasi tersebut. Konsepsi pertama menciptakan orang-orang jahat tersebut. System serta program-program tersebut bersifat reformatif, misalnya hukuman bersyarat, hukuman kurungan, serta hukuman penjara. Teknik kedua lebuh ditekankan pada usaha agar penjahat dapat menjalani hukuma bersyarat, diusahakan mencari pekerjaan bagi si terhukum dan diberikan konsultasi psikologis. Kepada para narapidana di lembaga-lembaga permasyarakatan diberikan pendidikan serta latihan-latihan untuk menguasai bidang-bidang tertentu supaya kelak stelah masa hukuman selesai punya modal untuk mencari pekerjaan di masyarakat

            Suatu gejala lain yang perlu mendapatkan perhatian adlah white collar crime yang timbul pada abad modern ini. Banyak ahli beranggapan bahwa tipe kejahatan ini merupakan ekses dari proses perkembangan ekonomi yang terlalu cepatm dan yang menekankan pada aspek material-finansial belaka. Oleh karena itu, pada mulanya gejala ini disebut business crime atau economic criminality. Memang, White Collar Crime merupakan kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha atau para pejabat di dalam menjalankan perkanan fungsinya. Keadaan keuangannya yang relative kuat memungkinkan mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang oleh hukum dan masyarakat umum dikualifikasikan sebagai kejahatan. Golongan tersebut mengangggap dirinya kebal tehadap hukum dan sarana-sarana pengendalian social lainnya karena kekuasaan dan keuangan yang dimilikinya sangat kuat. Sukar sekali untuk memidana mereka sehingga dengan tepat dikatakan bahwa kekuatan penjahat white collar terletak pada kelemahan korban-korbannya.
Masalah diatas memang terkenal rumit karena menyangkut paling sedikit beberapa aspek sebagai berikut :
a.                   Siapakah lapisan tertinggi masyarakat yang karena profesi dan kedudukannya mempunyai peluang untuk melakukan kejahatan tersebut.
b.                  Apakah perbuatan serta gejala-gejala yang dapat dikualifikasikan sebagai white collar crime?
c.                   Faktor-faktor social dan individual apa yang menyebabkan orang berbuat demikian?
d.                  Bagaimanakan tindakan – tindakan pencegahannya melalui sarana-sarana pengendalian social tertentu?

            Sebenarnya Faktor- faktor individual tak akan mungkin dipisahkan dari Faktor-faktor social, walaupun dapat dibedakan. Namun demikian faktor-faktor ini akan dibicarakan terhadap tersendiri, semata-mata dari segi praktisnya.[4] Penelitian-penelitian terhadap faktor ini belum banyak dilakukan, karena sulitnya memperoleh data dasar tentang white collar crime tersebut. Beberapa hasil penelitiannya yang telah dilakukan di beberapa Negara eropa menunjukan, bahwa dorongan utama adalah masalah kebutuhan. Hal ini sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari faktor social. Mungkin  dorongan tersebut sama saja dengan dorongan yang ada pada stratum rendah, yaitu golongan blue collar. Namun ada suatu perbedaan yaitu bahwa dorongan pada golongan lapisan tertinggi terletak pada kemampuan untuk memenuhi keinginginan-keinginginannya . Lagipula kebutuhan mereka terang lebih besar daripada kebutuhan golongan strata rendah. Juga kedudukan serta peranan meraka memberikan peluang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.

            Mengenai latar belakang sosialnya, mekara berasal dari keluarga pada umumnya tidak mengalami gangguan. Walaupun kadang-kadang ayah tidak melakukan peranannya sebagai seorang ayah yang baik, sejak kecil, dia tidak dididik untuk dapat mengendalikan keinginan-keinginannya dalam memperoleh apa yang dibutuhkan. Setelah semakin dewasa, keinginan-keinginan tersebut bertambah banyak yang mau dipenuhi, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan sangat kecil. Kecerdasannya cukup tinggi, orangnya praktis, tetapi tidak mempunyai prinsip-prinsip moral yang kuat ( kesusilaan yang kuat ).

            Faktor-faktor individual tersebut diatas dapat saja dimiliki oleh tipe penjahat lain. Akan tetapi, yang justru yang membedakannya adalah kedudukan dan peranan yang melekan padanya. Peluang-peluang yang dapat disalahgunakan justru tersedia karena kedudukannya tersebut.

            Suatu studi yang pernah dilakukan di Yugoslavia misalnya memberikan petunjuk bahwa timbulnya white collar crime karena situasi social memberikan peluang. Situasi tersebut justru dimiliki oleh golongan yang seyogyannya memberikan contoh teladan kepada masyarakat luas. Di dalam situasi demikian terjadilah kepudaran pada hukum yang berlaku sehingga timbul suasana yang penuh dengan peluang-peluang dan kesempatan-kesempatan. Situasi tesebut menyebabkan warga masyarakat mulai tidak memercayai nilai dan norma-norma hukum yang berlaku.[5]



[1] Donald R Gressey, Crime dalam Contemporary Social Problems, hlm. 53 dan seterusnya
[2] E.H Sutherland dan Dr. Cressey, Principles of Criminologi, hlm. 74
[3] Donald R. Cressey, op cit, hlm. 69
[4] Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu Pengantar, hlm 323

7 Artikel Untuk Anda

Edit Post

Powered by Blogger - Template CaraSehat.Me